Saturday, January 30, 2016

Difable tak (selalu) perlu dibantu

tributeto Stephanie Kusuma Rahardja



Keterlibatan  saya dengan difable dimulai tiga tahun lalu.  Mei 2013, saat itu saya merasa bangga dan beruntung bisa presentasi  satu panggung bersama  Stephanie Kusuma Rahardja dalam konferesi dunia 4th Session Global Platform on Disaster Risk Reduction di Geneva, Swiss. Kami berbagi cerita tentang Indonesia Safe Schools. Stephanie tentang gempa Yogya, saya tentang SchoolaTourRahmi.  Global Audience yang hadir saat itu nampak sangat antusias. Sepertinya sih bukan karena presentasi saya, tapi karena kehadiran,  Stephanie, perempuan muda tuna rungu, yang begitu penuh percaya diri 'bercerita'  tentang  Sharing of experiences DRR in schools from children perspective. 

Jika lembaga besar seperti UNISDR (United Nation International Strategy for Disaster Reduction) sudah memberi ruang buat para difable, bagaimana dengan kondisi di sekolah-sekolah, apakah sudah ramah difable?



***

Sepengamatan saya, ketika para orangtua memasukan anak mereka ke sekolah umum (bukan sekolah kejuruan atau Sekolah Tinggi), tidak ada persyaratan yang mengharuskan anak untuk memiliki postur tubuh lengkap alias tidak cacat (sekarang biasa diistilahkan dengan difable), baik fisik maupun mental. Jadi para difable sebetulnya, bisa saja sekolah di sekolah umum. Namun pada pelaksanaan,  menerima ‘perbedaan’ – differentiable, di sekolah-sekolah umum  tidak semudah itu.  Selain infrastruktur yang belum memadai, pengkondisian yang ada di antara orangtua, guru apalagi murid-murid di sekolah) ternyata belum sepenuhnya mendukung.
Saya tertarik dengan video berikut,




Kejadian dalam video itu adalah untuk para difable yang kasad mata? Lalu bagaimana dengan mereka yang dikatakan ‘abnormal’ secara mental? Yang difable-nya tidak kelihatan, apakah mereka sudah diterima juga? Saya punya pengalaman tentang hal ini, terjadi saat saya kelas 2 SD di  AIT (Asian Institute of Technology) School – Bangkok. 


Saat itu, saya satu kelas dengan teman-teman dari berbagai bangsa; ada yang dari India, Philipina, Norwe, British, Pakistan, Nigeria juga anak Thailand sendiri. Diantara sekian teman, salah seorang,  sebut saja Brian, kondisinya ‘berbeda’ dibanding murid yang lain. Lebih atraktif dan kadang nampak agresif. Di kemudian hari saya tahu, ini salah satu cici-ciri autis.   Kadang kehadiran Brian memang terasa mengganggu, tapi karena guru mengganggap hal biasa, kamipun ikut terpengaruh, tetap berteman dengan Brian sama seperti yang lain. 

Di kelas kami didampingi oleh dua guru,  seorang guru kelas dengan seorang asisten. Suasana belajar mengajar tidak terlalu terpengaruh oleh ‘ulah’ Brian, karena ada asisten (guru pendamping)  yang bisa punya waktu lebih untuk ‘menemani’ Brian.  

Dengan kondisi Brian yang kadang seperti hiperaktif dan memiliki dunia sendiri, bahkan saat kami  perform bersama (satu kelas) di atas panggung,  Brian kerab ‘meramaikan’ perform dengan caranya sendiri,  yang –hebatnya- kadang lebih mampu mencuri perhatian penonton. Tindak tanduk Brian yang nampak ‘lain’ ini oleh para pihak guru, orangtua dan murid-murid yang hadir  seperti dianggap biasa saja. Mereka nampak sudah paham dengan kondisi Brian. Memaklumi dan berusaha menerima ‘keanehan’ Brian sebagai sebuah perbedaan yang harus dihormati. 

Di sekolah, Brian  tidak lantas  diistimewakan, ataupun dikucilkan.  Perbedaan yang ada diantara kami, saat itu seperti,  tak untuk di perbincangkan apalagi di cemooh, semua berlangsung biasa saja.  That’s all.

Kejadian tentang Brian, anak autis yang diterima dengan terbuka untuk belajar bersama di sekolah berlangsung di luar Indonesia.  Bagaimana dengan di Indonesia? 

Ternyata kejadian yang hampir sama kini terjadi juga di SD Susukan 02, Jakarta, tempat adik saya sekolah saat ini.

Salut buat Kepala Sekolah SD Susukan 02 Jakarta yang ‘  membiarkan’  Bimo (sebut saja)  dan ibu-nya ‘bersekolah’ di sana. Adik saya selalu cerita tentang Bimo – yang sekolah dengan ditemani ibu-nya, di dalam kelas. Sekali lagi, Bimo dan Ibu.

Pada awal masuk di kelas 1, Bimo memang tampil agresif dan sering (tanpa sadar) ‘melukai’  teman-teman sekelasnya, entah itu mendorong – memukul atau merusak tugas teman di dekatnya. Namun lambat laun, Bimo semakin bisa beradaptasi dan diterima oleh teman-teman di sekitarnya. Bahkan ketika   saya berkesempatan ikut datang ke kelas adik saya, saya tidak bisa melihat perbedaan Bimo dibanding teman-teman yang lain, semua nampak biasa saja.


Berbeda dengan kondisi di AIT- Bangkok yang perbandingan guru:murid adalah 20:2, di  SD Negeri di Jakarta perbandingan guru murid adalah 30:1,   tentu kehadiran Bimo  terasa ‘mengganggu’, maka kehadiran Ibu Bimo  yang ikut stay di kelas, selain untuk mengawasi anaknya, juga sekaligus menjadi asisten guru kelas. Alhasil,  Bimo bisa tetap sekolah di sekolah umum, anak-anak juga tetap bisa belajar normal. Apakah kehadiran Bimo mengganggu? Bisa jadi iya. Tapi disisi lain, saya melihat ini dari sisi positifnya. Murid-murid jadi mendapat adalah pembelajaran baru tentang  bagaimana bersikap terhadap teman yang “berbeda”. 

Dari dua kejadian di atas, saya merasa kaum difable adalah manusia biasa. Mereka memiliki kelebihan serta kekurangan. Idealnya mereka harus diterima dengan plus minus yang mereka miliki.  Memang, “Penyandang disabiltas” ada yang sukses, seperti  Temple Gradin  yang mendunia, atau beberapa yang lain. Namun, harus jujur diakui, bahwa  banyak pula penyandang difable yang biasa-biasa saja. 

Masyarakat (dalam kasus ini anak-anak di sekolah) harus bersikap bijak dalam bergaul dengan mereka.  Dengan sekolah dan belajar bersama, maka murid-murid akan terbiasa untuk tidak mencemooh  sesama teman yang berbeda. Tidak gampang menyepelekan,  namun tidak juga serta merta mengistimewakan kaum difable. Biasa saja. 

Dalam mata pelajaran di sekolah, ada materi tentang menghargai dan menghormati orang lain. Dengan menerima anak-anak difable sekolah bersama, teori ini bisa terpraktekan.  Misalnya, dengan tetap menyapa, mengajak ngobrol, mendengarkan ceritanya, atau mengajak mereka bermain bersama tanpa rasa takut. 

Pemerintah sendiri saat ini nampak sudah peduli dengan kaum difabel dengan menerbitkan perda, di masing-masing daerah. ”Tetapi, pemenuhan hak tak cukup hanya dengan tulisan. Perlu ada langkah konkret untuk mewujudkan hak itu,” hal ini diungkap oleh Ketua Kelompok Kerja Hukum Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia Ariani Soekanwo di Jakarta saat menghadiri perayaan Hari Disabilitas Internasional, Rabu (10/12/2014). 

Saya setuju! Perda dan segala peraturan itu,  adalah teori-teori normative yang berada diawang-awang. Sementara difable dan segala permasalahannya ada real di sekitar kita.  Maka salah satu cara yang efektif agar tidak ada pembedaan , “saya normal – kamu tidak normal” adalah justru dengan tidak memisahkan mereka dalam pergaulan, khususnya pendidikan. Selama perbedaan (difable) yang ada masih acceptable, sedia-nya, anak-anak difable, sekolahkan  saja di sekolah umum. 

Penutup, tak ada seorang pun yang ingin diri atau anggota keluarganya jadi difabel. Mudah-mudahan dengan menerima kaum difable di sekolah bisa menjadikan kita manusia yang seutuhnya. Amin.
***

http://bisamandiri.com/blog/2016/01/temple-gardin-kisah-anak-autis-yang-hebat/

http://megapolitan.kompas.com/read/2014/12/11/1422031/Pemenuhan.Hak.Kaum.Difabel.Tak.Cukup.dengan.Perda

http://solider.or.id/2015/05/25/stephanie-kusuma-rahardja-perjuangkan-hak-tuli-hingga-tutup-usia

http://www.preventionweb.net/globalplatform/2013/programme/ignitestage/view/558
https://www.youtube.com/watch?v=u8PRYVC-a4U

No comments: