Sunday, April 19, 2009

Apapun Yang Terjadi, Cita-cita Tak Boleh Mati

(Buat Lomba Menulis Esai di Blog)

Aku merasakan sendiri pentingnya merencanakan pendidikan secara serius, karena aku sudah mengalami tiga kali pindah sekolah.

Yang paling berkesan bagiku adalah tahun-tahun ketika aku bersekolah di Bangkok, Thailand. Saat itu ayahku bertugas di sana, dan kami tinggal dalam kompleks yang penghuninya terdiri dari keluarga-keluarga yang berasal dari berbagai negara. Begitupun teman sekolahku di SD, mereka ada yang dari Finlandia, Perancis, Malawi, India, Nepal, Mongolia, Laos, Filipina, dan lain-lain. Senang rasanya bisa mengadu prestasi dengan anak-anak bangsa lain. Sayang kesempatan bersekolah di lingkungan internasional ini harus berakhir ketika kontrak kerja ayahku selesai dan kami harus kembali ke Indonesia. Waktu itu aku sempat berpikir, wah andai saja aku punya tabungan sendiri yang cukup, tentu aku bisa terus merangkai cita-cita tanpa harus bergantung pada orang tua. Bagaimana caranya ya?

Sesampai di Indonesia, aku tetap semangat untuk terus berprestasi. Aku juga makin bangga pada orangtuaku yang terus berusaha agar aku bisa tetap memperolah pendidikan terbaik lewat sekolah di kota tempat kami tinggal. Sebelum bersekolah di Jakarta, aku sempat melanjutkan sekolah di Pekalongan. Kedua-duanya memiliki kenangan tersendiri. Bahkan saat masih bersekolah di Pekalongan itu lah, aku memperoleh kesempatan bertemu dengan Menteri ESDM dan Presiden di Istana Negara ketika aku terpilih sebagai salah seorang delegasi Konferensi Anak Bobo 2005 tentang Hemat Energi.

Aku pun terpacu untuk makin rajin menulis dan belajar. Aku bercita-cita ingin menjadi ilmuwan hebat, menjadi seorang ‘scientist’ yang mampu memecahkan persoalan-persoalan rumit, tetapi juga mampu menuliskan karyanya dengan baik. Aku ingin karyaku nanti mudah dipahami orang biasa, tapi juga bisa dibaca oleh ilmuwan-ilmuwan lain di seluruh dunia. Aku pernah mengalahkan prestasi teman-teman dari negara lain ketika masih bersekolah di Bangkok. Aku pun yakin kelak akan mampu mengalahkan ilmuwan-ilmuwan dari negara lain asal aku tak pernah berhenti berprestasi, dan tak boleh menyerah dalam mewujudkan cita-cita. Kata mama, itu semua perlu direncanakan dengan baik. Kata ayah, tak cukup hanya orangtua yang berusaha, aku sendiri juga sebaiknya ikut memikirkannya sejak awal. Aku setuju. Lalu kami bicara tentang asuransi.

Saat ini banyak sekali jenis asuransi, diantaranya Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putera 1912 (AJB 1912). Sudah tua sekali ya, hampir 90 tahun usianya, pasti sudah berpengalaman sekali dalam asuransi.

Aku mulai menghitung-hitung. Aku sudah mantap kelak harus bisa melanjutkan sekolah di luar negeri. Paling tidak setelah lulus SMA. Dengan bersekolah di luar negeri, aku yakin akan lebih banyak kesempatan untuk berprestasi di tingkat internasional. Pasti tidak mudah. Aku harus pintar di berbagai mata pelajaran. Juga harus punya ketrampilan dalam kegiatan-kegiatan tambahan seperti misalnya musik, atau olahraga. Bahasa Inggrisku pun harus bagus banget. Lebih hebat lagi, kalo aku juga bisa berbahasa internasional lainnya, seperti ayahku. Kalo aku merencanakannya dari sekarang, aku pasti bisa karena aku masih punya banyak waktu. Tapi semua ini pasti membutuhkan biaya, jadi aku sudah harus mulai menabung.

Mama mengajariku tips untuk menyisihkan sebagian uang bulananku, dan menyimpannya dalam bentuk tabungan atas namaku sendiri. Dengan ditabung di bank, uangku akan lebih aman tersimpan. Dan kapanpun aku membutuhkan, aku bisa mengambil uang tabunganku ini. Bila aku disiplin, kelak tabunganku ini pasti berguna untuk membeli buku-buku, mikroskop, dan peralatan scientist lainnya. Tapi tabunganku pasti tak akan cukup untuk membayar biayai sekolahku setelah lulus SMA, karena aku inginnya bersekolah di luar negeri,

Ayah bilang, asal aku berjanji belajar dengan serius, maka tugas orang tualah yang akan menyediakan dana untuk biaya sekolahku. Mereka sudah mempersiapkannya dari sekarang. Aku tahu karena aku ikut diajak berdiskusi soal ini.

Ayahku akan menyisihkan sejumlah dana secara rutin, yang kelak akan digunakan sebagai biaya sekolahku setelah lulus SMA. Tetapi dana ini tidak akan disimpan dalam bentuk tabungan, ayahku akan menyimpannya dalam bentuk asuransi.

Dalam asuransi AJB 1912, dana yang sudah disisihkan ini tidak bisa lagi diambil sembarangan. Dana baru akan bisa diambil ketika aku sudah saatnya masuk kuliah, kira-kira enam tahun lagi. Dengan adanya asuransi ini, aku bisa merasa tenang karena telah ada kepastian tentang biaya untuk sekolahku nanti. Berapa besarnya biaya yang harus terkumpul untuk membayar sekolah nanti, bisa kita tentukan sendiri dari sekarang, dan bisa dicicil secara rutin sesuai kemampuan.

Menariknya, kata ayahku, dengan menyisihkan dana secara rutin yang disimpan sebagai asuransi, apalagi di AJB Bumiputera 1912 kita mendapat jaminan yang lebih pasti bahwa jumlah yang ingin kita kumpulkan akan bisa tercapai. Bahkan misalnya (ini hanya misalnya, dan aku benar-benar berdoa semoga hal ini tak terjadi) ayahku meninggal sebelum aku lulus SMA, maka pihak asuransi akan tetap melanjutkan penyisihan dana seperti yang dilakukan ayahku. Dengan demikian ketika aku lulus SMA nanti, dana untuk biaya sekolahku terjamin tetap tersedia. Kalaupun tidak terjadi apa-apa dengan ayahku (dan aku sungguh-sungguh berdoa supaya memang beginilah yang terjadi), dana yang sudah terkumpul itu bisa dicairkan untuk membayar sekolahku, atau bahkan untuk kebutuhan lain kalau ternyata ayah pada saat itu sudah memiliki dana lain yang cukup.

Aku sebenarnya merasa gimana gitu, ketika berdiskusi tentang kemungkinan ayahku meninggal mendadak. Tapi kata ayah, ini bukan bicara tentang kematian tetapi tentang pentingnya kepastian agar aku bisa terus sekolah mewujudkan cita-citaku, apapun yang terjadi. Apalagi dengan banyaknya berita tentang bencana dan kecelakaan akhir-akhir ini, kita tidak pernah tahu dengan pasti apa yang akan terjadi esok hari. Yang kita harus tahu, adalah menyiapkan segala sesuatu agar apapun yang terjadi, cita-cita kita tidak boleh mati.

No comments: